“Sampan Zulaiha” Berlabuh di Binjai
Oleh: Tanita Liasna
Sastra adalah suatu bentuk dan hasil pekerjaan seni
kreatif yang objeknya adalah manusia dan kehidupannya dengan menggunakan bahasa
sebagai mediumnya. (saripuddin lubis:2010:1). Begitulah sastra, sebuah karya
nyata dari manusia, yang berasal dari kehidupan manusia, dan dimanfaatkan dan
dinikmati oleh manusia kembali. Tiga dalam satu wadah, tak dapat terpisahkan.Realita yang menjadi kebiasaan bahwa peminat acara
sastra memiliki kapasitas yang kurang maksimal. Banyak orang yang enggan
berfikir tentang sastra. Lihat saja, setiap ada acara yang diramu dengan tema
sastra, maka peminatnya alangkah menyedihkan bila dibandingkan dengan acara
yang diramu dengan tema kedatangan artis Ibukota atau artis Mancanegara.
Diperparah pula dengan cukup minimnya pengajar-pengajar di sekolah yang kurang
memperkenalkan sastra pada para peserta didik. Dihantam pula dengan kemerosotan
minat mahasiswa yang berkecimpung dalam dunia sastra terhadap sastra itu
sendiri. Ya hal itu dianggap lumrah, mengingat para petinggi negeri pun kurang
memberikan perhatian lebih terhadap kemajuan sastra, dan artefak-artefak
sastra.Dan “Sampan Zulaiha”; adalah sebuah antologi cerpen
karya Sastrawan Nasional dan Asia Tenggara: Hasan Al Banna yang telah
diluncurkan pada Sabtu (23/4) sore di kantin Taman Budaya Sumatera Utara
(TBSU). Antologi cerpen ini berisikan 15 cerpen yang dikemas apik dengan warna
lokal kota Medan.Untuk menumbuhkan kecintaan terhadap sastra,
memperkenalkan salah satu sastrawan Medan yang telah membahana hingga kepelosok
negeri, serta mengobati rindu para penikmat sastra kota Binjai, maka STKIP
Budidaya Binjai Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra menggelar Acara Talkshow
Sastra “Makmurkan Sampan Zulaiha Bersama Hasan Al Banna”, yang diadakan minggu
(28/5) di Pendopo Umar Baki. Penggagas acara ini adalah Saripuddin Lubis,
S.Pd,. Di dukung oleh STKIP Budidaya Binjai. Dan didampingi oleh beberapa
dosen, diantaranya Mastar Muham, M.Pd, Supiah Purba, S.Pd, Ali Sadikin, SS, Sri
Hidayati, S.Pd, Novianti S.pd, serta Adriadi, M.pd. Dan dihadiri oleh hampir
537 peserta dari kalangan mahasiswa, pelajar, guru, dan juga umum.Acara ini berjalan cukup khitmat. Diawali sambutan dari
Jamal dan Andi, selaku pembawa acara. Dilanjutkan dengan pembacaan doa. Lalu
kata sambutan oleh Mastar Muham, M.Pd selaku ketua panitia, selanjutkan untaian
sambutan dari Muslim Sembiring selaku ketua STKIP Budidaya, dan dilanjutkan
dengan penampilan musikalisasi puisi oleh Komunitas Membaca, Menulis, dan
Sastra Rumput Hijau SMA Negeri 2 Binjai, yang membawakan beberapa puisi, salah
satunya “Sebab Pahlawan Namaku”, karya M. Raudah Jambak. Lalu sambutan dari
Wakil Walikota Binjai, dan berlanjut pada pusat acara, yaitu Bedah Antologi
Cerpen Terbaru Hasan Al Banna.Pada bedah buku ini disuguhkan dua pembicara, yaitu
Saripuddin Lubis (Cerpenis, Esais, dan Dosen STKIP Budidaya Binjai), dan Ahmad
Badren Siregar (Cerpenis dan Pelaku Seni). Dan yang menjabat sebagai moderator
adalah Dani Sukma AS (Ketua Komunitas Penulis Anak Kampus (KOMPAK)). Bedah buku
ini berjalan cukup kreatif, karena para hadirin antusias sekali dalam
memberikan pertanyaan pada saat season
pertanyaan di buka.Ada mahasiswa yang mempertanyakan mengapa gambar kumpulan kulit kerang
yang menghiasi cover antologi cerpen Sampan Zulaiha. Lalu, memperdebatkan
cerpen Rabiah, yang menceritakan tentang kepasrahan TKI ketika akan dijemput
tali maut. Dan masih banyak lagi pertanyaan lain. Kesemua pertanyaan dijawab
dengan bijak dan menarik oleh para pembicara. Dan setelah semua pertanyaan
dijawab oleh pembicara, muncullah artis panggung yang sebenarnya, Hasan Al
Banna. Para hadirin teramat meriah menyambut
Hasan Al Banna di atas panggung. Setelah menyampaikan beberapa patah kata,
Hasan pun berlalu dari panggung. Kemudian sebagai penutup acara, Komunitas
Rumput Hijau kembali menggeliat penonton dengan kemerduan dan keindahan
musikalisasi puisi mereka.Dimana Hasan Al BannaMenarik bagi penulis, sebagai panitia penulis merasa
sangat lucu dengan pola tingkah para hadirin yang sibuk mengirimkan pesan
singkat kepada penulis, perihal keberadaan Hasan Al Banna. “Kapan Hasan Al
Banna muncul?”. “Mana Hasan Al Banna?”. Telepon seluler penulis tak henti
menerima pesan singkat tersebut. Padahal tanpa mereka sadari, penulis yang mereka
cari sedang berputar-putar ria mengitari arena acara. Geli! Benar-benar geli.
Dan ketika sang penulis yang ditunggu-tunggu dipanggil ke atas panggung, semua
terpana dan tak menyangka. Begitulah Hasan Al Banna; ramah, sederhana, bijak,
rendah hati, dan apa adanya. Satu ungkapan Hasan yang tak mampu penulis lupakan
adalah ungkapannya yang mengibaratkan pujian dan kritikan dari para penikmat
karyanya sebagai sepasang kakinya. Beliau tidak ingin jika hanya pujian yang
disodorkan padanya. Beliau juga ingin para penikmat karyanya menghadiahinya
sebuah kritikanKekuatan Antologi Cerpen Sampan
Zulaiha Sampan Zulaiha adalah sebuah
buku antologi cerpen yang menyuguhkan warna lokal Sumatera Utara, seperti
Tapanuli Selatan, dan daerah pesisir.
Dengan membaca cerpen-cerpen dalam Sampan Zulaiha kita sekarang sudah
tahu arti dari Amangboru, Parompa Sadun,
dan banyak lagi. Diksi yang dipergunakan membuai para pembaca untuk ikut melaut
dalam lautan kata yang diramu oleh Hasan Al Banna. Seperti dalam petikan kata
ini; “lautkah gemulai rahim yang
mendamparkanku ke dunia?” Kemudian permasalahan yang dituangkan dalam
setiap cerpen mencerminkan kehidupan sehari-hari yang kadang luput dari
perhatian kita. Dan yang tak kalah menarik, tak lupa Hasan Al Banna mendekorasi
setiap masalah ke dalam budaya-budaya nyata di masyarakat, baik yang berbau
adat kesukuan ataupun adat yang diakibatkan dari kebiasaan “orang dulu”. Kemudian kekuatan
yang semakin mengekarkan cerpen-cerpen dalam Sampan Zulaiha adalah alur cerita
yang sebagian besar beralur kilas balik. Dengan alur demikian, Hasan membuahkan
cerpen-cerpen yang membuat pembaca bermain adrenalin, dan mereka-reka sendiri
bagaimana penghujung dari cerita yang dinikmati. Selanjutkan akhir
cerita yang semuanya berakhir duka, membuat kesadaran pada manusia, bahwa hidup
yang dijalani jaranglah mulus berjalan. Ada
saja batu menyandung menciptakan perih, bahkan kematian tak terelakkan.
Menyadarkan manusia untuk mensyukuri nikmat, dan menyadari semua pilihan adalah
jalan yang harus ditempuh dan tak semuanya sesuai dengan harap. Semua memiliki
masalah, semua memiliki pilihan.Bersyukur Penulis wajib mensyukuri
karena mendapat kesempatan bertanya langsung perihal sebab musibab munculnya
judul besar Sampan Zulaiha. Lalu mencuri sedikit ilmu mujarab yang dimiliki
oleh Hasan Al Banna. Begini hal yang penulis tanyakan: “Bagaimana cara
menciptakan warna diksi kita sendiri, tanpa terbawa arus oleh para sastrawan
yang kita kagumi?”
“Semua kata telah tersedia, kita harus pandai mengawinkan kata”.“Ibarat mengkloning, seperti itulah”. Jawab beliau dengan semburat senyum.Dan penulis juga berkesempatan mengkritik salah satu cerpen beliau yang menurut penulis kurang sampai pada logika penulis. Dan Hasan menghadiahi penulis dengan jawaban yang menarik, dan dengan satu pendiriannya: begitu Sampan Zulaiha diterbitkan dan diluncurkan, sang sampan adalah milik pembaca.
“Semua kata telah tersedia, kita harus pandai mengawinkan kata”.“Ibarat mengkloning, seperti itulah”. Jawab beliau dengan semburat senyum.Dan penulis juga berkesempatan mengkritik salah satu cerpen beliau yang menurut penulis kurang sampai pada logika penulis. Dan Hasan menghadiahi penulis dengan jawaban yang menarik, dan dengan satu pendiriannya: begitu Sampan Zulaiha diterbitkan dan diluncurkan, sang sampan adalah milik pembaca.
Sampan Zulaiha
adalah sebuah cerpen yang memuncahkan tangis dalam hati penulis, sekaligus
kebahagiaan yang tak ada tara, karena dapat
menikmatinya. Begitu juga 14 cerpen yang lain, menyelinap pada dinding-dinding
pikiran penulis, melalui diksi-diksi yang begitu nyata dan alami.Ya, Bang Hasan, angsa
imajinasi lebih anggun dari angsa di danau.
Dermaga Rindu, 29 Mei 2011
Email tanita_liasna@rocketmail.com.
(Artikel ini telah dimuat di Rubrik
TRP Analisa, 26 Juni 2011)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar